KHUTBAH JUMAT OKTOBER 2023: Islam yang Menentramkan Penuh Kedamaian

MIMBAR JUMAT – Berikut naskah Khutbah Jumat yang ditulis DR. KH. Abdul Halim Sholeh, MM, anggota Komisi Fatwa MUI dan Ketua Umum Yayasan Pesantren Jauharul Wathan Jakarta dengan judul: Islam yang Menentramkan Penuh Kedamaian.

Untuk diketahui, Islam hadir sebagai agama yang membawa pesan rahmat bagi seluruh alam termasuk umat manusia, Rahmatan Lil Alamin. Karenanya Islam bukan agama ritual semata, melainkan sebagai penyelamat bagi umat manusia yang mengamalkan tata nilainya.

Tata nilai Islam begitu detail. Bahkan perkara lisan disinggung dalam Islam. Hal itu termaktub dalam Hadis Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah SAW bersabda:

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

“Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.”(H.R. al-Bukhari).

Betapa Islam membawa pesan menentramkan penuh kedamaian jika dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari bagi umatnya.

Untuk lebih detailnya, simak naskah Khutbah Jumat dengan judul: Islam yang Menentramkan Penuh Kedamaian berikut ini.

MOHON TIDAK DIBACA KETIKA KHUTBAH BERLANGSUNG

Khutbah Pertama (1)

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ، وَخَذَلَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِمَشِيْئَتِهِ وَعَدْلِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَلَا شَبِيْةَ وَلَا مِثْلَ وَلَا يَدَّ لَهُ، وَلَا حَدَّ َ وَلَا جُنَّةَ وَلَا أَعْضَاءَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَعَظِيْمَنَا وَقَائِدَنَا وَقُرَّةَ أَعْيُنِنَا مُحَمَّدًا عَبْدَهُ وَرَسُوْلَهُ، وَصَفِيَّهُ وَحَبِيْبَهُ. أَللهم صَلِّ وَسَلّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ والاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاعِبَادَ اللهِ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُمْ مُسْلِمُونَ وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْحَكِيمِ أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ : هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ ۖ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ

وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Kehadiran Islam bagi umat manusia adalah untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian dunia. Kata Islam dalam ungkapan al- Qur’an memberi makna yang beragam. Paling tidak ada dua makna yang fundamental dari kata Islam. Pertama, kata Islam sebagai sebutan agama yang dibawa oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada surat Ali Imran ayat 19 dijelaskan bahwa :

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ .

Artinya: “Sesungguhnya agama yang dirihai oleh Allah adalah Islam”.

Kedua, kata Islam sebagai agama yang mengajarkan sikap kepasrahan, keberserahan diri kepada Allah, yang bersumber dari sikap dan jiwa ketaatan yang tulus dan total sebagai refleksi dari jiwa spiritual yang hanya menghambakan diri kepada Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’iin Allah. Dalam surat Ali Imran ayat 83 Allah berfirman:

نِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْض أفغير دين ! Artinya:

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.

طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ )

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Kualitas kepasrahan seorang muslim yang bersumber dari makna Islam di atas harus menjelma dalam realitas kehidupannya. Kualitas kepasrahan tersebut harus diukur dari kenyataan sejauh mana kehidupan seorang muslim mampu memberikan ketentraman dan kedamaian bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia.

Dalam bacaan wirid/dzikir yang sering kita amalkan setelah shalat fardhu, ketentraman dan kedamaian menjadi sentral dari doa- doa kita; kedamaian adalah dambaan yang tinggi untuk kehidupan seorang muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa penentangan terhadap semangat ketentraman dan kedamaian merupakan sikap pembangkangan terhadap Allah. Karena Allah adalah ketentraman dan kedamaian. Dia adalah sumber ketentraman dan kedamaian itu sendiri. Setiap selesai shalat wirid/dzikir yang selalu dibaca diantaranya berbunyi;

اللهم أنت السّلامُ وَمِنكَ السّلامُ وَإِلَيْكَ يَعُودُ السَّلامُ فَحَيْنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ وَأدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلَامِ تَبَارَكْتَ ربَّنَا وَتَعَالَيْتَ بَاذَا الْجَلَا لِي وَالإكرام

Artinya: “Ya Allah Engkau adalah kedamaian. Engkau sumber kedamaian. Kepada-Mu mengalir kedamaian. Maka hidupkanlah kami dalam suasana kedamaian. Masukkan kami ke dalam surga, tempat yang penuh kedamaian, wahai Tuhan kami, Zat yang Maha Pemberi berkah, Tuhan yang sangat agung dan mulia”.

Kedamaian adalah suasana nyaman yang bebas dari gangguan pihak lain, bebas permusuhan, kebencian, dendam dan segala perilaku yang menyusahkan orang lain. Kedamaian menjadi harapan semua orang. Sulit rasanya kita dapat hidup dengan nyaman, tenang dan khusyu’ beribadah jika kedamaian terusik. Kesemena-menaan, dendam, kedzaliman, kebencian dan permusuhan adalah sikap dan perilaku anti ketentraman, kedamaian. dan anti keislaman.

Betul bahwa perbedaan adalah suatu hal yang lumrah dan wajar terjadi dalam kehidupan kita bermasyarakat. Allah telah mentakdirkan kita hidup dalam perbedaan atau keragaman. Perbedaan adalah sesuatu yang alamiah dan universal. Namun, perbedaan tidak boleh menodai kedamaian.

Perbedaan tidak boleh dijadikan dasar pembenaran bagi siapa saja untuk mengusik ataum engganggu ketentraman dan kedamaian hidup orang lain. Tidak terkecuali ketentraman dan kedamaian orang-orang yang selalu berseberangan prinsip dengan keislaman kita.

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Sejarah kehidupan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan banyak tuntunan bagaimana prinsip kedamaian harus dijunjung tinggi, diletakkan pada prioritas utama. Bahkan hak-hak hukum seseorang dianjurkan untuk tidak mengorbankan kepentingan orang lain. Islam mengajarkan bahwa walaupun suatu perkara hukum diselesaikan melalui jalur pengadilan, Islam tetap menekankan semangat kedamaian dan semangat saling pengertian.

Dendam sangat dibenci oleh Allah, walaupun “dendam” qisas tersebut merupakan hak istimewa yang didapatkan melalui ketentuan qisas.

Dalam sebuah hadits dijelaskan satu fragmen dialog singkat yang sangat menyentuh esensi sikap keislaman seseorang. Diriwatkan bahwa pada suatu hari, seorang sahabat menemui baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama. Dia mengadukan kasus pembunuhan terhadap orang tuanya dan menanyakan ketentuan hukum yang dapat dilakukannya dalam peristiwa tersebut. Seseorang telah membunuh orang tuanya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallama menyampaikan bahwa sahabat tersebut berhak menuntut qisas hukuman mati atas pembunuhan orang tuanya, karena al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 178):

بناها الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الخرُ بالخر وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنى بِالْأُنثَى فَمَنْ عُفِى لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاهُ إِلَيْهِ بِإِحْسَنِ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِن رَّبِّكُمْ

وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ )

Memang ayat di atas telah menetapkan ketentuan qisas atas pembunuhan sengaja, bahwa hilang nyawa dibalas dengan nyawa. Nampaknya keputusan ini sesuatu yang sangat diharapkan sahabat dimaksud. Dia pun puas dengan keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama.

Ketika sahabat tersebut begitu bersemangat untuk menuntaskan hukuman qisas (tetapi penuh dengan kobaran semangat dendam dan kebencian), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama lalu menasihatinya: “Kalau kamu jalankan hak qishasmu atas pembunuhan tersebut, dalam artian kamu membunuh dia, maka kamu juga seperti dia sebagai seorang pembunuh”.

Ya keduanya sebagai pembunuh. Lalu apa yang membedakan mereka berdua? Yaitu hanya hak hukum.

Pembunuh pertama membunuh tanpa dasar hukum, tanpa alasan yang dibenarkan Islam. Sedangkan pembunuh kedua (sahabat tadi) membunuh atas dispensasi yang dibenarkan oleh hukum. Tetapi pada akhirnya, keduanya secara substansial tetap menyandang predikat sebagai pembunuh, pencabut nyawa orang lain.

Tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama tidak bermaksud merampas hak qisas (pembalasan pembunuhan) dari sahabat di atas. Islam sangat menghargai dan menjaga hak-hak hukum seseorang.

Prinsip ini terlihat dari cara, retorika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallama dalam dialog di atas. Beliau terlebih dahulu menerangkan hak hukum (qisas) dalam peristiwa pembunuhan yang dilaporkan, baru kemudian beliau menyentuh jiwa dan semangat moralitasnya, yaitu jiwa pemaaf, jiwa yang dipastikan akan menjadi motor penggerak dan garda penjaga kedamaian.

Dalam peristiwa di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama nampaknya sedang mengajarkan model sikap bijak seorang muslim; yaitu hak hukum tidak boleh kita lampiaskan jika semuanya didasarkan atas semangat kebencian dan permusuhan. Hak-hak hukum tidak boleh dilepaskan dari semangat moralitasnya.

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Islam adalah jalan damai, Ajaran Ilahiah yang bermuara padak edamaian. Sejalan dengan prinsip ini, Islam sangat mendorong kita untuk berjiwa pemaaf, karena maaf sangat dekat dengan ketaqwaan seperti diisyaratkan oleh al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 237:

… وأن تَعْفُوا أَقرَبُ لِلتَّقْوَى.

Jiwa pemaaf, kepasrahan yang tulus merupakan sumber kedamaian, dan ia merupakan salah satu rumpun rangkuman ajaran dasar Islam.

Dengan semangat ajaran seperti apa yang telah dipaparkan di atas, kualitas iman dalam kehidupan seorang muslim harus diukur dari kualitas dan kuantitas ketentraman dan kedamaian yang dirasakan semua orang yang hidup bertetangga, bersinggungan, atau berinteraksi dengannya. Bukanlah seorang muslim yang baik jika kehidupan pribadi atau sosialnya menjadi sumber malapetaka dan keresahan orang lain.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallama pernah mengingatkan kita, sebagaimana yang direkam oleh Abullah bin Amr bin al Ash:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ مُتَّفَقٌ

عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بن عمرو ابْن الْعَاصِ

Artinya: “Seorang muslim (yang baik) adalah individu yang orang muslim lainnya merasa nyaman, tentram dan damai dari ucapan dan perilakunya”.

Begitu indah Islam meletakkan dasar kehidupan bermasyarakat. Begitu jeli dan antisipatif Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama menuntun kita untuk terciptanya ketenteraman dan kedamaian hidup.

Prinsip seperti digariskan oleh hadits di atas harus kita renungkan ketika ideologi dan semangat keakuan, egoisme sektarian begitu didengungkan, yaitu semangat ideologi kehidupan modern yang rentan terhadap pertentangan. Saat ini Islam sebagai agama yang damai cenderung dilupakan, minimal terpinggirkan dari pusat kesadaran keagamaan.

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Islam sebagai agama yang hadir dengan prinsip kasih-sayang (mahabbah), kebersamaan (ijtima’iyyah), persamaan (musawah), keadilan (adalah), dan persaudaraan (ukhuwah), di tengah budaya kekerasan dan permusuhan di komunitas Arab Jahiliyah.

Islam jalan keselamatan, kedamaian dan ketentraman. Semangat kasih-sayang dapat melebur dan meredam kebencian dan permusuhan. Karena tarikan semangat ini, sahabat yang tadi datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama untuk menuntut balas atas pembunuhan orang tuanya kemudian mengurungkan niatnya.

Dalam bingkai semangat kebersamaan, Islam meletakkan prinsip lain, yaitu setiap hak hukum dalam Islam harus mengedepankan dimensi kebersamaan. Pilihan hak- hak secara moral tidak boleh mengancam ikatan kebersamaan.

Dengan semangat persamaan, Islam membenci sikap dan prilaku yang membeda-bedakan orang atas dasar stratifikasi sosial, yaitu diskriminatif. Melalui ajaran keadilan, Islam ingin menciptakan susana hidup yang tidak pillih kasih. Melalui semangat per- saudaraan, Islam memecahkan dan mencairkan kebekuan hubungan sosial antar sesama umat manusia.

Semua prinsip di atas merupakan dasar munculnya ketentraman dan kedamaian. Dari sisi lain, Islam dapat kita pahami sebagai sumber kedamaian dan jalan damai, walaupun realitasnya masih belum begitu menggembirakan.

Dr. Yusuf al-Qardhowi dalam bukunya “Iman wal Hayah” (Iman dan Kehidupan) menjabarkan beberapa prinsip yang merupakan akar rumpun kedamaian di atas.

  1. Di antara buah kasih sayang yang ditanamkan oleh iman dalam hati dan kehidupan seorang muslim adalah kebebasan nurani dari tarikan kekuatan iri hati dan dengki. Cahaya iman yang merupakan mesin penggerak kedamaian menghancurkan bibit atau potensi kebencian dan permusuhan.
  2. Seorang muslim yang baik tidak menaruh dendam dan permusuhan, karena dia suka memberi maaf dan bermurah hati, dia sanggup menahan kemarahan walau dia berkuasa, berhak dan mampu melaksanakannya, dia berlapang hati, walaupun dia benar. Orang beriman tidak mendengki, tidak mendendam, tidak memendam kebencian, karena rasa dengki, kebencian, dan dendam adalah benih permusuhan yang ditaburkan iblis, benih- benih negatif yang menghambat ketentraman dan kedamaian. Sebaliknya, persaudaraan, kebersamaan, cinta, dan kasih sayang serta hati bersih adalah taman surgawi yang bermuara dari Allah.
  3. Seorang muslim yang baik lebih mendahulukan dan meng- utamakan kepentingan saudaranya, daripada keperluan sendiri. Dalam kaitan ini, di zaman Rasulullah, kaum Anshar (penduduka asli Madinah) memberi bantuan terhadap saudaranya kaum Muhajirin sehingga tercipta persaudaraan yang sangat erat berdasarkan jiwa dan semangat kasih sayang, serta keikhlasan.

Ma’asyiral jamaati fii shalatil Jum’ah rahimakumullah.

Prinsip-prinsip yang bermuara pada kedamaian di atas menjadi potensi Islam yang sangat positif pada saat ini, terutama ketika kita sering dihadapkan pada dilema dan realitas sosial-politik yang mengganggu irama kehidupan. Islam mengajarkan bahwa arah dan tujuan hidup adalah Allah subhanahu wata’ala.

Jika Allah adalah sumber kedamaian dan kedamaian itu sendiri, maka prinsip kedamaian harus menjadi perhatian dan reflksi kita bersama agar obsesi dan sinyalemen al-Qur’an yang menjanjikan Islam sebagai jalan keselamatan, ketentraman atau kedamaian dapat terrealisasi dalam lintasan kehidupan kita.

Semoga Allah menuntun kita untuk menjadi umat yang terbaik untuk ikut menciptakan ketentraman dan kedamaian dunia, agar iman kita semakin kuat dan bertambah, minimal kenyamanan dan kedamaian yang dirasakan oleh orang-orang yang hidup dalam spektrum sosial kita. Sebagai penutup kita perhatikan firman Allah dalam al-Qur’an

Surat al Fath ayat 4:

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَنًا مِّعَ إِيمَنِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا )

Artinya: “Dialah yang telah menurunkan ketentraman kedalam hati orang-orang yang beriman untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada) dan milik Allah lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana”.

بارك الله لي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيم, وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكيم, وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُم تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ أَقُولُ قَوْلي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيمُ.

Khutbah Kedua (2)

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللهم صَلِّ وَسَلَّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الصَّادِقِ الْوَعْدِ الْأَمِينِ، وَعَلَى إِخْوَانِهِ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَآلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِينَ، وَعَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي، وَعَنِ الْأَئِمَّةِ الْمُهْتَدِينَ، أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِي وَأَحْمَدَ وَعَنِ الْأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ، أَوْصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِي الْعَظِيمِ فَاتَّقُوهُ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُم بِأَمْرٍ عَظِيمٍ، أَمَرَكُم بِالصَّلَاةِ وَالسَّلام عَلى نَيهِ الكَرِيم فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكُتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى ي يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَما صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيّدِنَا إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُم

اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ غَيْرَ ضَالَّيْنَ وَلَا مُضِلَّيْنَ، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا وَآمِنْ رَّوْعَاتِنَا وَاكْفِنَا مَا أَهَمَّنَا وَقِنَا شَرَّ ما تَتَخوَّفُ، اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاء وَالْبَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالسُّيُوفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِندُنِيسِيَا خَاصَّة وَعَنْ سَائِرِ الْبُلْدَانِ عَامَّة إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّا الْخَاسِرِيْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلَّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيمٌ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ, وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَأَدْخِلْنَا الجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَار يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ يَارَبَّ الْعَالَمِينَ والْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فاذكروا اللهَ الْعَظِيمَ يَذكركُم وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَرْدُكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَاتَّقُوْهُ يَجْعَلْ لَكُمْ مَخْرَجًا مِنْ أَمُورِكُمْ ، وَلَذِكْرُ الله أكبر

 

Leave a Comment