Politik Religiusitas dan Rasisme Terselubung
Dunia tampaknya memiliki hierarki moral atas penderitaan. Ketika umat Muslim Rohingya atau warga Palestina menjadi korban, istilah “genosida” cepat diucapkan dan konferensi darurat segera digelar. Tapi ketika umat Kristen dibantai di Nigeria, narasinya bergeser, yaitu “konflik lahan”, “gesekan sosial”, atau “reaksi terhadap ketimpangan ekonomi”.
Paradoks ini bukan sekadar bias agama melainkan rasisme struktural terselubung. Korban kulit hitam di Afrika, meski Kristen atau Muslim, selalu dianggap bagian dari “kekacauan lokal”, bukan tragedi kemanusiaan global. Kekerasan di Eropa disebut “ancaman terhadap peradaban”, tapi kekerasan di Afrika disebut “tantangan pembangunan”.
Media internasional pun ikut bersalah. Alasan mereka sederhana namun beracun, bahwa berbicara terlalu keras tentang kekerasan oleh kelompok Islam ekstrem bisa dituduh islamofobia. Akibatnya, berita disamarkan menjadi “konflik petani-penggembala”, seolah para korban terbunuh bukan karena keyakinan mereka, tetapi karena salah tanam jagung di tanah yang salah.
Baca Juga:Mau Healing ke Majalengka Low Budget? Ini 3 Rekomendasi Wisata Murah MeriahBukan Hanya Cicerem! Ini 3 Rekomendasi Wisata Alam Paling Hits di Kuningan
Sementara negara-negara Barat yang konon menjunjung hak asasi manusia tetap menjual senjata ke kawasan itu. Mereka menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian persenjataan tersebut digunakan oleh milisi yang justru membantai warga sipil. Ini bukan sekadar kelalaian moral, bahwa ini kolusi ekonomi dalam skala global.
Atas Nama Kemanusiaan, Bukan Agama
Tulisan ini bukan seruan untuk membalas kebencian dengan kebencian. Justru sebaliknya, bahwa ini ajakan untuk memulihkan moralitas politik global yang telah lumpuh oleh hipokrisi. Bila dunia benar-benar berkomitmen pada human rights, maka penderitaan umat Kristen di Nigeria harus mendapatkan perhatian setara dengan tragedi Gaza, Bosnia, atau Rohingya.
Keadilan sejati tidak memilih agama. Ia berpihak pada korban, bukan pada kekuasaan. Menamai genosida sebagai “konflik komunitas” adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri.
Sunyi yang Mengutuk
Sejarah berulang bukan karena manusia lupa, tapi karena mereka memilih tidak peduli. Seperti Bosnia di tahun 1995 dan Rwanda di 1994, dunia kini menyaksikan genosida lain dengan kamera yang dimatikan. Setiap keheningan adalah persetujuan terselubung.