MIMBARJUMAT.COM – Ketika dunia sibuk berdebat tentang etika perang di Gaza atau strategi gencatan senjata di Ukraina, di dataran tinggi Nigeria darah kembali mengalir tanpa sanksi, tanpa liputan, tanpa doa dari forum dunia.
Lebih dari 7.000 umat Kristen dibantai hanya dalam tujuh bulan pertama 2025, sebagian besar oleh milisi Fulani dan kelompok ekstremis Boko Haram.
Tapi tragedi ini yang oleh banyak organisasi kemanusiaan dikategorikan sebagai genocidal persecution justru terbungkam dalam diplomasi global. Dunia menutup mata, dan kemanusiaan dijadikan retorika tanpa ruh.
Baca Juga:Mau Healing ke Majalengka Low Budget? Ini 3 Rekomendasi Wisata Murah MeriahBukan Hanya Cicerem! Ini 3 Rekomendasi Wisata Alam Paling Hits di Kuningan
Kemunafikan Global dan Politik Kepentingan
PBB, institusi yang lahir dari reruntuhan Holocaust untuk mencegah genosida berikutnya, kini menjadi menara gading yang kehilangan nyali. Tidak ada satu pun resolusi Dewan Keamanan yang menyinggung secara eksplisit pembunuhan berbasis agama di Nigeria.
Padahal mandat Responsibility to Protect (R2P) yang disahkan sejak 2005 mewajibkan intervensi ketika sebuah negara gagal melindungi warganya dari genosida. Lalu di mana PBB saat ini? Sibuk menegosiasikan “stabilitas kawasan” sambil membiarkan desa-desa Kristen di Plateau dan Benue jadi abu.
Polanya sama seperti Rwanda 1994. Kala itu, PBB menolak menyebut pembantaian terhadap etnis Tutsi sebagai “genosida” karena takut konsekuensi hukum internasional memaksa intervensi. Kini, setengah abad kemudian, mereka mengulangi dosa yang sama dengan nama yang lebih halus, yaitu “konflik agraria” atau “benturan etnis”.
Donald Trump dan para politisi Amerika juga tidak lebih baik. Ia sering berteriak tentang “kebebasan beragama” di hadapan evangelikal kulit putih, tapi saat genosida terhadap umat Kristen Afrika terjadi, ia bersembunyi di balik jargon “masalah internal Nigeria”.
Washington tidak mau kehilangan pijakan geopolitik di Afrika Barat yang kaya minyak. Artinya nyawa manusia kalah nilai dibanding kontrak energi dan pengaruh militer.
Dan Indonesia? Prabowo Subianto dengan doktrin human security dan retorika “perdamaian dunia” berdiri di podium internasional tanpa satu pun pernyataan publik menyinggung tragedi Nigeria.
Bahkan di OKI, yang seharusnya menjadi wadah solidaritas umat, tidak ada satu deklarasi pun mengecam kekerasan sektarian ini. Kita memilih diam atas nama diplomasi Selatan-Global, padahal yang sedang terbunuh juga adalah manusia Selatan-Global.