Abdi Negara vs Algoritma dan Perang Kedaulatan di Era AI

perang kedaulatan di era ai
Perang kedaulatan di era AI hadir dalam dimensi yang berbeda. Foto: AI Generated - tangkapan layar - mimbarjumat.com
0 Komentar

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengembalikan pengolahan data strategis ke dalam ranah offline, di lingkungan tertutup yang steril dari interkoneksi global.

Semua informasi yang menyangkut keamanan nasional, intelijen, dan kebijakan pertahanan mesti diproses tanpa bergantung pada jaringan publik.

Pemutusan sementara dari arus data global ini bukanlah bentuk kemunduran, melainkan upaya sadar untuk melindungi inti kedaulatan dari infiltrasi algoritmik.

Baca Juga:Pewaris dan Perintis dalam Sudut Pandang Psikologi Islam, Beda TantangannyaDulu Patrick Kluivert Jadi Anak Buahnya, Kini Louis van Gaal yang Turun Gunung Latih Indonesia?

Pemerintah harus mulai membangun ekosistem AI nasional yang sepenuhnya berbasis infrastruktur domestik. Kecerdasan buatan seharusnya tidak menjadi alat kolonialisme digital yang memperkaya algoritma asing, melainkan instrumen strategis negara dalam memperkuat kemandirian teknologi.

Pengembangan model AI lokal di server nasional dengan pengawasan etik dan keamanan berlapis akan menjadi fondasi penting menuju kedaulatan digital yang sejati.

Namun, kebijakan ini tidak akan berarti tanpa reformulasi kurikulum pendidikan pertahanan dan intelijen. Para abdi negara perlu dilatih untuk memahami bukan hanya cara memanfaatkan teknologi, tetapi juga cara menolak ketergantungan terhadapnya.

Literasi algoritmik menjadi penting, bahwa aparat harus mengerti bagaimana data mereka dikumpulkan, bagaimana algoritma bekerja, dan sejauh mana perangkat digital dapat menjadi alat pengawasan terselubung. Dalam konteks ini, menjaga rahasia negara bukan lagi sekadar soal disiplin informasi, tetapi juga soal kesadaran epistemik.

Diplomasi digital harus menjadi bagian integral dari politik luar negeri Indonesia. Dalam forum-forum global, negara ini perlu memperjuangkan norma baru tentang data sovereignty, sebagaimana ditegaskan oleh Marcucci, S., Alarcón, N. G., Verhulst, S. G., & Wüllhorst, E. (2023) dalam penelitiannya yang berjudul Informing the global data future: benchmarking data governance frameworks, bahwa setiap negara berhak menentukan di mana datanya disimpan dan siapa yang berhak mengolahnya.

Kedaulatan digital harus ditempatkan sejajar dengan kedaulatan teritorial, karena dalam dunia yang diatur oleh data, kehilangan kendali atas informasi berarti kehilangan kendali atas masa depan.

Reorientasi ini, pada akhirnya, bukan semata persoalan teknis, tetapi juga pilihan politik, bahwa apakah kita ingin menjadi pengguna teknologi, atau pemilik pengetahuan? Dalam era AI, perbedaan antara keduanya menentukan apakah bangsa ini akan tetap berdaulat, atau sekadar menjadi data mentah bagi kekuasaan algoritmik global.

0 Komentar