Masalahnya, jalur pipa itu harus melewati wilayah yang sangat sensitif: Gaza, Palestina. Rutenya adalah dari Qatar ke Arab Saudi, ke Yordania, ke Gaza, ke Mediterania, ke Yunani, ke Italia, dan kemudian menyebar ke negara-negara Eropa.
Negara Eropa yang paling membutuhkan gas Qatar adalah Jerman, Italia, Prancis dan Yunani. Mereka yang paling terdampak hilangnya pasokan Rusia. Mereka yang paling agresif mendukung “perdamaian” Gaza.
Tapi untuk membangun pipa itu, Gaza harus “stabil”. Palestina harus bisa dikontrol. Mesir harus kooperatif. Israel harus merasa aman. Perdamaian Tanpa Keadilan.
Baca Juga:Google Gemini AI yang Membuat Edit Foto Jadi Lebih MudahRevolusi Edit Foto dengan Kecerdasan Buatan: Mengubah Cara Kita Berkreasi Visual
Kehadiran Guterres hanya sebagai “stempel legitimasi” tanpa kekuatan riil. Dan absennya Vladimir Putin (Rusia) dan Xi Jinping (China) dalam konferensi perdamaian tersebut telah menunjukkan memang sedang terjadi perpecahan tatanan dunia.
Elite global tidak akan pernah memberikan perdamaian sejati secara sukarela. Perdamaian mereka adalah perdamaian yang melindungi privilese, yang menstabilkan akumulasi kapital, yang menormalisasi ketidakadilan struktural.
Perdamaian di Gaza membutuhkan dekolonisasi (pengembalian tanah dan sumber daya), redistribusi (kekayaan dari oligarki ke pekerja), demokratisasi (keputusan dibuat rakyat, bukan elite) dan reparasi (pertanggungjawaban historis untuk kolonialisme). Tapi tidak ada satu pun yang dibahas di Sharm El-Sheikh.
Mari kembali ke pertanyaan awal. Mengapa perdamaian Gaza tiba-tiba jadi prioritas ? Karena Gaza menghalangi proyek energi triliunan dolar.
Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan yang dilegitimasi. Sharm El-Sheikh bukan akhir sejarah. Ini adalah pertarungan yang berlanjut antara kapitalisme ekstraktif dan sosialisme ekologis.
Dalam 5 tahun, kita akan melihat pipa gas kembali mengalir untuk Eropa, Gaza menjadi “damai” tapi tetap terjajah dan dunia merayakan normalisasi sambil melupakan bahwa perdamaian ini dibeli dengan gas alam triliunan dolar.
Penulis: Bobby Ciputra, Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)