Apa yang Sebenarnya Sedang Terjadi?
Hipotesis A: Diplomasi Normal dengan Lapisan Transaksi Politik
Pujian Trump dan Netanyahu dapat dibaca sebagai sinyal goodwill untuk memperkuat kerja sama pragmatis. Dalam geopolitik realis, kata-kata hangat sering digunakan sebagai alat untuk membuka pintu negosiasi, investasi, atau dukungan politik.
Trump dikenal memanfaatkan personalitas pemimpin dunia untuk membangun “debt of gratitude”, yaitu hubungan personal yang kemudian dikapitalisasi untuk kepentingan ekonomi (seperti kesepakatan resort, pertahanan, atau energi). Kasus “hot mic” dengan Eric Trump mendukung pola ini.
Hipotesis B: Co-optation
Aktor Barat, terutama Amerika Serikat, menyadari bahwa mengubah arah Indonesia secara langsung hampir mustahil. Namun, menggiring Prabowo agar “ramah Barat” melalui pujian, kerja sama ekonomi, dan legitimasi internasional lebih mungkin dilakukan.
Baca Juga:Boikot Trans7 karena Apa? Ponpes Al Mizan Jatiwangi Sebut Soal MarwahPatrick Kluivert Minta Maaf, Tak Ada Kata-kata Mau Mundur
Ini bukan perekrutan ke BRICS, melainkan penjinakan pengaruh BRICS dari dalam, dengan Prabowo sebagai jembatan yang menyeimbangkan kepentingan kedua kubu.
Hipotesis C: Operasi “Bridge Diplomacy”
Indonesia kini satu-satunya negara besar Muslim yang berada di BRICS dan memiliki hubungan strategis dengan Amerika, Eropa, dan China sekaligus. Dalam konfigurasi ini, Prabowo tampil sebagai figur yang bisa diterima oleh tiga dunia, yaitu Barat, Islam, dan BRICS.
Barat kemungkinan besar melihat ini sebagai peluang emas, yaitu mendekati Prabowo untuk memastikan BRICS tidak berubah menjadi blok anti-Barat murni. Dengan kata lain, bukan menarik Prabowo ke BRICS, tetapi memastikan BRICS tidak menarik Prabowo menjauh.
Ekonomi, Keamanan, dan Legitimasi sebagai Motif
Pertama, motif ekonomi. Indonesia dengan pasar 280 juta jiwa dan cadangan nikel terbesar dunia menjadi incaran semua blok ekonomi. Trump, yang terkenal dengan pendekatan “dealmaking”, dapat melihat hubungan personal dengan Prabowo sebagai jalan masuk investasi baru termasuk dalam sektor energi dan properti.
Kedua, motif keamanan. Barat membutuhkan mitra di Asia Tenggara untuk menyeimbangkan pengaruh Beijing dan Moskow. Indonesia, yang bertradisi nonblok, bisa menjadi “pivot” dalam strategi Indo-Pasifik. Kajian penelitian yang dilakukan oleh Lee, S., & Schreer, B. (2022) di Laporan Jurnal Ilmiah Asia-Pacific Regional Security Assessment 2022 menyebut Indonesia sebagai target penting untuk kerja sama pelatihan, maritim, dan kontra-terorisme.