Hal ini terlihat dari keberhasilan negara-negara seperti Jerman dan Spanyol, yang menekankan akademi pemain muda dengan filosofi permainan yang konsisten, pembinaan fisik dan mental, serta eksposur internasional sejak dini.
Penelitian oleh Schorer, J., Cobley, S., Büsch, D., Bräutigam, H., & Baker, J. (2009) juga menunjukkan bahwa jam terbang kompetitif di usia muda berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan pemain di level senior.
Di Indonesia, pemain muda berbakat masih sering terjebak dalam liga domestik yang tidak kompetitif dan minim pelatihan modern, sehingga bakat lokal tidak berkembang dan ketergantungan pada Naturalisasi menjadi solusi sementara yang mahal dan tidak berkelanjutan.
Baca Juga:Jembatan Strategis atau Target Pengaruh? Barat, Brics dan Posisi PrabowoBoikot Trans7 karena Apa? Ponpes Al Mizan Jatiwangi Sebut Soal Marwah
Indonesia sangat membutuhkan filosofi permainan nasional yang jelas dan konsisten. Filosofi ini bukan sekadar jargon, melainkan kerangka yang membimbing setiap level pembinaan, dari junior hingga senior.
Teori Long-Term Athlete Development (LTAD) menekankan program jangka panjang yang konsisten agar atlet memahami identitas permainan dan mampu mengeksekusi strategi di level internasional. Studi kasus Belanda dengan sistem “Total Football” menunjukkan bahwa filosofi yang diterapkan sejak usia muda membuat pemain tidak hanya mahir secara teknik, tetapi juga adaptif secara taktis.
Indonesia, dengan improvisasi formasi yang kerap berubah dari 4-3-3 ke 4-2-3-1 sesuai lawan, masih jauh dari konsistensi seperti itu, sehingga pola permainan timnas mudah ditebak dan transisi antar-lini lambat.
Profesionalisasi liga domestik juga menjadi faktor penentu. Liga 1 Indonesia masih menunjukkan disparitas kualitas klub dan pemain yang ekstrem.
Teori Organizational Ecology dalam konteks olahraga menekankan bahwa sistem kompetisi yang sehat dan standar profesional tinggi berpengaruh terhadap perkembangan pemain dan keberhasilan tim nasional.
Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan membuktikan bahwa liga yang kompetitif, terstruktur, dan berstandar internasional menghasilkan pemain yang siap bersaing di level dunia.
Sebaliknya, tanpa liga domestik yang kuat, Timnas Indonesia akan terus kalah bersaing karena pemainnya tidak siap secara fisik, mental, maupun taktik.
Baca Juga:Patrick Kluivert Minta Maaf, Tak Ada Kata-kata Mau MundurCuma Copy Paste Prompt Ini, Bisa Foto Realistis Bareng Nailong yang Viral!
Masalah struktural lainnya adalah Konflik Kepentingan dalam manajemen sepak bola. Posisi ganda Ketua PSSI sekaligus Menteri Olahraga, seperti yang dipegang Erick Thohir, membuka celah bagi keputusan strategis yang lebih mengutamakan citra politik daripada pengembangan teknis jangka panjang.