Secara prediktif, jika Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara keberanian tindakan dan koordinasi institusional, gaya koboi bisa menjadi driver reformasi fiskal dan efisiensi ekonomi. Ia bisa menjadi katalisator yang mendorong modernisasi birokrasi dan tata kelola publik.
Namun jika ketegangan dengan elite politik dan kepala daerah meningkat, risiko tarik-ulur kebijakan bisa menimbulkan ketidakpastian pasar, stagnasi fiskal, atau konflik sosial.
Sehingga gaya kepemimpinan Purbaya adalah pedang bermata dua, bahwa ia berpotensi inovasi dan efisiensi besar, tetapi risiko politik dan implementasi tetap nyata.
Baca Juga:IKA Smanpasa Gelar Campus Fair, Ini TujuannyaDebat Panjang Messi Versus Ronaldo, Sukses Bersama Apa Salahnya?
Sejarah global menunjukkan bahwa pemimpin maverick yang sukses adalah mereka yang mampu memadukan keberanian dengan strategi institusional, bukan sekadar bertindak solo.
Indonesia kini sedang diuji, bahwa apakah gaya koboi Purbaya akan menjadi contoh reformasi fiskal yang kuat, atau ujian ketegangan politik yang panjang.
Harmoni yang Rawan Retak
Indonesia kini berdiri di persimpangan antara kesinambungan dan perubahan. Purbaya adalah simbol teknokrasi yang dibentuk oleh Jokowi dan Luhut, tetapi kini harus bekerja di bawah visi politik Prabowo.
Hubungan mereka, sejauh ini, masih produktif namun di baliknya tersimpan potensi friksi yang besar. Apakah duet kanan–kiri ini akan menjadi harmoni baru bagi politik ekonomi Indonesia, atau justru membuka tekanan laten antara populisme dan teknokrasi?
Waktu yang akan menjawab. Untuk saat ini, publik hanya bisa mengamati seorang presiden yang berpikir besar tentang rakyat, seorang menteri yang berpikir tajam tentang angka, dan dua bayangan lama Jokowi dan Luhut yang masih memantau dari kejauhan.
Tiga generasi kekuasaan, satu panggung ekonomi nasional. Dan mungkin, justru dari tarik-ulur itulah lahir resep keseimbangan baru politik-ekonomi Indonesia pasca-2029.
Penulis: Ruben Cornelius Siagian