Di Asia, Lee Kuan Yew di Singapura menunjukkan kombinasi otoriter dan pragmatis, bahwa ia berani mengambil keputusan drastis demi efisiensi birokrasi dan pembangunan, yang berbuah hasil ekonomi luar biasa.
Di India, kebijakan “Shock Therapy” Manmohan Singh di era reformasi 1991—meski bukan koboi personal, menunjukkan bahwa keputusan teknokrat tegas di tengah krisis dapat memecahkan kebuntuan ekonomi, tapi selalu berisiko memicu friksi politik.
Dalam konteks Indonesia, implikasi gaya kepemimpinan koboi Purbaya bersifat ambivalen. Di satu sisi, keputusan tegas seperti menertibkan transfer ke daerah atau memaksa bank menyalurkan kredit dapat memperkuat disiplin fiskal, mengurangi kebocoran anggaran, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga:IKA Smanpasa Gelar Campus Fair, Ini TujuannyaDebat Panjang Messi Versus Ronaldo, Sukses Bersama Apa Salahnya?
Gaya ini juga memberikan sinyal kuat kepada pasar bahwa pemerintah serius dalam menjaga stabilitas dan kredibilitas anggaran negara, bahwa ini hal yang penting untuk menarik investasi domestik dan asing.
Namun risiko politik tetap tinggi. Indonesia adalah negara demokratis dengan desentralisasi fiskal yang kuat. Setiap kebijakan yang dipersepsikan menekan daerah atau kelompok kepentingan tertentu dapat memicu konflik politik, demonstrasi, atau bahkan ketidakpatuhan birokrasi.
Jika gaya koboi Purbaya tidak diimbangi koordinasi politik yang cermat, kebijakan yang tampak efisien secara teknokratis bisa merusak legitimasi pemerintah dan menghambat implementasi.
Risiko psikologis dan kepemimpinan jangka panjang juga perlu diperhatikan. Pemimpin koboi yang terlalu dominan bisa menurunkan kapasitas lembaga untuk membangun prosedur permanen, karena bawahan mungkin menunggu arahan ad-hoc.
Efek ini terlihat di beberapa negara di mana reformasi ekonomi impulsif jangka pendek berhasil, tapi institusi jangka panjang menjadi lemah.
Berdasarkan penelitian tentang kepemimpinan maverick di sektor publik, kesuksesan bergantung pada tiga faktor, antara lain; (1) kredibilitas teknokratik pemimpin, (2) dukungan politik dari elite, dan (3) mekanisme kontrol internal agar keputusan drastis tidak menimbulkan disfungsi.
Purbaya, dengan rekam jejak di era Jokowi dan kedekatan dengan Luhut, memiliki dua faktor pertama. Faktor ketiga yaitu kontrol internal dan koordinasi lintas kementerian serta daerah akan menjadi kunci untuk menentukan apakah gaya koboi ini akan menghasilkan harmoni atau friksi.